KESEHATAN JIWA REMAJA

Rabu, 14 Januari 2009 ·

Penyalahgunaan narkotika, zat adiktif (napza), termasuk alkohol, opium, obat dengan resep, psikotomimetiks, kokain, dan mariyuana. Masalah serius dan yang terus berkembang dalam penyalahgunaan zat adalah peningkatan penggunaan lebih dari satu jenis zat secara serentak atau berurutan. Penyalahgunaan zat terlarang di Indonesia, menjadi perhatian bagi seluruh elemen yang ada di Negara ini. Golongan yang menjadi pengguna napza terbesar di Indonesia adalah remaja.


Usia remaja adalah usia yang rentan terhadap napza. Dari sekitar 2 juta orang pengguna napza di Indonesia, mayoritas pengguna berumur 20-25 tahun. Sembilan puluh persen pengguna adalah pria. Usia pertama kali menggunakan napza rata-rata 19 tahun. Demikian data yang diungkap oleh Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) cabang DKI Jaya (Human Health, 2002).

Bahkan Hasil survei LSM pemantau masalah narkoba di Sulawesi Tengah (Sulteng), Nilava Lingkar Studi (NLS), menyebutkan 15% pelajar sekolah menengah umum (SMU) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kota Palu mengkonsumsi narkoba jenis pil koplo, ganja, dan sabu. 57% diantaranya mengaku perokok aktif, 17,5% perokok pasif dan pernah mengonsumsi minuman keras. ”Hanya 12% pelajar terbebas dari semua itu” (Media Indonesia, 2003).

Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan obat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan suatu kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Sedangkan istilah adiktif umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat.

Penyebab dari munculnya masalah tersebut sangatlah multifaktorial, menurut beberapa sumber faktor tersebut diantaranya adalah faktor keluarga, faktor kepribadian, faktor teman sebaya, faktor lingkungan sekolah dan faktor kesempatan.

Berdasarkan hasil penelitian tim UNIKA Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya (terutama remaja) terlibat penyalahgunaan napza. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang memiliki riwayat ketergantungan napza, keluarga dengan aturan yang tidak konsisten (misalnya, ayah bilang ya, tetapi ibu bilang tidak), dan keluarga yang sering konflik baik antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara. Selain itu juga keluarga dengan orang tua yang otoriter atau keluarga yang tidak pernah memberikan kesempatan pada anak untuk berdialog. Demikian juga keluarga yang selalu menuntut kesempurnaan dan keluarga yang selalu diliputi kecemasan.

Pecandu napza biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi. Remaja yang menyalahgunakan napza umumnya tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan.

Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan dalam kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seusia untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Bila seorang remaja tidak bisa berinteraksi dengan kelompok teman yang lebih popular atau yang berprestasi (misalnya dalam bidang olah raga dan akademik), hal tersebut dapat menyebabkan frustrasi sehingga ia mencari kelompok lain yang dapat menerimanya.

Lingkungan sekolah turut mendorong terjadinya penyalahgunaan napza. Sekolah yang kurang berdisiplin dan tidak tertib, sering tidak ada pelajaran pada waktu jam sekolah, pelajaran yang diberikan secara membosankan guru yang kurang pandai mengajar dan kurang mampu berkomunikasi dengan siswa, serta sekolah tidak mempunyai fasilitas untuk menyalurkan kreatifitas siswa, merupakan ciri-ciri sekolah yang berisiko tinggi terhadap adanya penyalahgunaan napza pada murid-muridnya.

Saat ini kesempatan untuk mendapatkan napza relatif mudah, bahkan sekolah-sekolah termasuk sampai SD. Lingkungan masyarakat yang masih bersikap tak acuh seolah membiarkan penyalahgunaan napza. Faktor lainnya adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Hal-hal diatas, memberikan isyarat tersendiri bagi kita sebagai anggota masyarakat yang peduli, sekaligus berperan sebagai seorang perawat untuk melakukan suatu tindakan yang bermakna. Bila melihat faktor penyebab yang sangat muldimensional seperti penjelasan diatas, maka perawat perlu melakukan suatu program kerjasama lintas sektoral untuk melakukan tindakan yang paripurna dalam menanggulangi masalah napza.

Tentunya tujuan dari tindakan kita difokuskan pada peningkatan kesehatan, pencegahan, perawatan dan rehabiltasi. Pada tindakan peningkatan kesehatan dan pencegahan tujuanya adalah untuk meminimalkan angka kejadian napza. Sedangkan pada tindakan perawatan dan rehabilitasi lebih ditekankan pada kemampuan perawat saat menghadapi kasus-kasus napza. Hal ini lebih diarahkan pada pemberian asuhan keperawatan terhadap pecandu napza baik yang berada di rumah sakit atau dilingkungan komunitas.

(noviebsuryanto.08012009

0 komentar:

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified